Dramaturgi Amarah dan Orkestra Kerusuhan

SCN | JAKARTA - Jakarta membara, Bandung berkobar, Jogja menyala, Makassar terbakar, lalu menyusul banyak daerah lainnya. Amarah menggelegak di jalanan, memantulkan jerit frustrasi dan kekecewaan. Tapi rentetan kekacauan ini terasa terlalu rapi untuk disebut spontan dan murni.
Sejauh ini, trigger terbesar terjadi saat seorang Affan Kurniawan, pemuda usia 21 tahun, pengemudi ojek online, meninggal tragis setelah dilindas kendaraan taktis polisi.
Peristiwa itu menyentak banyak orang. Di negara mana pun, kematian anak muda biasa oleh alat kekuasaan selalu menjadi luka moral yang dalam. Dan seperti luka yang terbuka, kemarahan pun mengalir keluar dengan cepat, deras, liar. Namun, dari situlah keganjilan mulai muncul.
Biasanya, sebuah protes besar punya wajah. Ada tokoh yang bicara. Ada tuntutan yang bisa dirinci. Ada spanduk yang dibentangkan. Tapi kali ini, jalanan penuh tanpa pengenal. Tidak ada pemimpin. Tidak ada nama gerakan. Tidak ada pernyataan sikap resmi.
Tidak ada siapa-siapa yang mengaku bertanggung jawab. Yang ada hanya gelombang emosi yang terus menyala, berpindah dari satu alasan ke alasan lain. Dari kematian Affan, isu berpindah ke kemuakan pada arogansi "wakil rakyat" Sahroni, joget Eko, dan mungkin ke siapa saja yang bisa dijadikan pemantik baru.
Dalam sosiologi politik, ada satu istilah yang patut diajukan: “proxy mobilization.” Istilah ini
menandai praktik ketika sekelompok elite yang sedang bertarung memanfaatkan massa
sebagai alat tekanan. Mereka tidak muncul ke publik, tidak langsung mengangkat bendera.
Mereka cukup menyulut satu pemantik kecil, dan membiarkan rakyat marah, sementara
mereka sendiri menonton dari jauh, menunggu hasil dari kerusuhan yang mereka sponsori
secara diam-diam.
Penulis Dr. Andrew Armilis MH
Sosiolog & Analis Strategik
Komentar Via Facebook :